Sabtu, 19 Juni 2010

Cerpen: Anakku

"Pa, naik pesawat terbang itu enak ya?" Anakku bertanya sambil memainkan
pesawat-terbangannya ke kiri ke kanan. Aku sama sekali tidak tahu harus menjawab
apa. Aku mulai menjatuhkan jari-jariku ke tuts mesin tik andalanku saat dia
bertanya.
"Ya. Mungkin.... Mungkin enak juga," jawabku sekenanya sambil mengisap rokok
dalam-dalam. Dan memikirkan kalimat-kalimat apa lagi yang harus diketik pada
kertas calon cerpenku ini.

"Bapa kok kelihatannya nggak serius."
Aduh, anak kecilku ini, baru enam tahun kok bicara bisa begini, batinku.
Bawa-bawa serius segala. Begitu cepatnya dia berkembang menjadi makhluk kecil
yang dapat mengerti dan mengucapkan banyak kata. Apa pelajaran membaca di
sekolahnya sudah sampai pada kalimat macam: Budi mudik ke rumah neneknya naik
pesawat terbang dengan serius. Atau karena dia terlalu banyak nonton televisi.
Dia menonton banyak sinetron, kartun, dan acara kehidupan selebritis, lalu
merekam segala perkataan makhluk-makhluk dalam gelas itu. Uh.
"Oo, Bapak juga belum pernah naik pesawat kali ya..." Katanya lagi masih dengan
ekspresi tanpa dosanya itu.
"Emangnya kenapa anakku, sayang," kataku lunak, lalu berkata, "kenapa kamu
ingin naik pesawat terbang?" Sekedar untuk lari dari pertanyaannya.
"Tapi Bapa janji dulu. Nanti kalo Bapa banyak uang, Ayi dan Bapa sama-sama
naik pesawatnya!"
"Iya kalo Bapa banyak uang. Ayi mau kemana pun naik pesawat bapa turuti."
Aku tahu ini hanya untuk menghibur Ayi. Apa yang bisa didapat orang yang
terkena pengurangan seperti aku. Pesangon kubelikan mesin tik, bayar kontrak
rumah dan mainan pesawat terbang Ayi. Aku hanya seorang penulis cerpen amatiran
sekarang. Walaupun belum ada karyaku yang dihargai media dengan memuatnya aja,
aku akan terus menulis. Di samping aku memasukan lamaran ke
perusahaan-perusahaan asing yang berkantor di sepanjang jalan Mulawarman. Siapa
tahu kelak aku akan menjadi penulis cerpen yang juga pekerja. Jadi bukan hanya
penulis cerpen yang juga sarjana yang ada di dunia ini.
"Betul, Pa!?" Kata Ayi."Nanti Ayi bisa naik pesawat. Asyik!"
Ayi begitu gembira, kataku dalam hati. Aku merasa berdosa apa iya aku akan
mewujudkan impiannya. Ayi berputar-putar di belakangku memainkan pesawat-terbang
mainannya.
Sesudah capek barulah dia menuju ke tempat tidur. Sudah malam. Aku
menghentikan jariku menari di atas tuts. Aku takut akan mengganggu tidurnya. Aku
menuliskan kalimat-kalimat berikutnya memakai pulpen saja dahulu.
Belum selesai aku menulis cerpenku kali ini, Ayi berkata dari tidurnya yang
lelap.
"Ibu, ibu, tungguin Ayi ya, Bu. Sebentar lagi Ayi dan Bapa menyusul ibu naik
pesawat ke langit."
Ah, anakku, dia begitu merindukan ibunya. Ibunya telah meninggal dua tahun
lalu. Dan nampaknya aku telah berbuat salah selama ini karena selalu mengatakan
ibunya kini berada di langit setiap kali dia bertanya.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar