Jumat, 15 Oktober 2010

Minyak Kalimantan

Terik matahari masih saja terasa di kerumunan di Bandara siang itu. Sudah pukul 13:30 dan belum ada kepastian keberangkatan. Syukurlah, anak kami, Alya, masih lincah berlari-lari di pelataran Bandara di bawah pengawasan istri. Sesekali istri bertanya lembut tentang kepastian keberangkatan.

Yah, ini memang bukan kejadian pertama keberangkatan kami kembali ke site penuh ketidakpastian (baca juga tulisan saya sebelumnya: Dunia yang Turbelens.) Namun panasnya cuaca terasa semakin mendesak kepala saya terasa lebih panas.
Tiba-tiba dari sebelah kanan saya ada seseorang menawarkan sesuatu,”Mas, minyak Kalimantan, mas, bagus untuk…”
Saya jawab, ”terimakasih, tidak.”
Kemudian dia bergeser ke sebelah kiri berucap lagi,”Asli ini, Mas, minyak Kalimantan.”
Saya menjawab kembali, “Tidak, Pak, terimakasih.”
Lagi-lagi, Bapak itu dengan tas selempangnya, masih menawarkan minyak Kalimantannya itu ke saya.
“TIDAK, TIDAK, TIDAK!!!” Kali ini saya berteriak.
Dalam hati saya, apa orang ini tidak tahu kalau yang dia tawarkan ini adalah orang Kalimantan. (Hehe, emang tidak tahu dong, kan belum dikasih tahu.)
Akan tetapi lama setelah kejadian itu baru saya sadar bahwa saya telah berlaku kasar terhadap Bapak penjual itu. Bukan kah Bapak itu sedang bekerja, sedang mencari nafkah untuk keluarganya?
Di samping itu saya teringat pada sebuah buku tentang pengendalian pengeluaran secara bijak-nya Safir Senduk yang mengisahkan betapa penjual ada di sekitar kita. Mereka akan merayu, mengiba, meminta dan melakukan apa pun agar barang/jasa mereka laku. Mereka seperti memperebutkan uang kita. Bila kita tidak dengan bijak mengendalikan pengeluaran maka akan terbeli barang-barang yang tidak perlu.
Siang itu semakin terik di Bandara Sepinggan, Balikpapan, dan penerbangan ke Melak telah dibatalkan.

Balikpapan, 15 Oktober 2010

SMO Kelas Free Trial

Tidak ada komentar:

Posting Komentar